A. JUMLAH CALON LEGISLATIF (CALEG) UNTUK DPR PUSAT PADA PEMILU 2014
Saya berulang kali mencari angka pasti total caleg di semua
tingkatan pemilu untuk 532 lembaga legislatif se-Indonesia (terdiri atas
1 lembaga DPR, 1 DPD, 34 DPRD Provinsi, dan 497 DPRD Kab/Kota). Tapi
tidak ada satu pun yang mempunyai data lengkap.
Yang paling banyak dimuat media adalah data untuk jumlah caleg DPR
dan DPD. Harap maklum, semua media nasional berkumpul di ibukota,
kecuali Jawa Pos, sehingga tidak ada yang memiliki basis data di daerah.
Untuk lembaga legislatif tingkat nasional, terdata ada 6.608 caleg yang
bertarung di DPR RI dan 945 caleg DPD RI.
Lativa, salah seorang pengelola jariungu.com, juga mengaku
kesulitan mengumpulkan data semua caleg untuk dimuat di websitenya.
“Harus satu per satu dikumpulkan mas ke masing-masing KPU daerah,”
akunya saat menjelaskan bagaimana timnya menyusun data caleg sebagai
bagian dari edukasi pemilih jelang Pemilu 2014.
Jadi, untuk menebak berapa orang caleg yang gagal alias tidak terpilih juga tidak mudah didapat angkanya.
Tapi saya mencoba membuat sebuah kalkulasi jumlah caleg yang ikut
berkompetisi dan jumlah caleg yang kalah dalam kompetisi 9 April lalu.
Dengan berpatokan pada kisaran 200 ribu caleg seperti disebut ketua KPU
Husni Kamil Manik kepada media.
DPR RI
Untuk tingkat DPR RI, terdapat 6.608 caleg dari 12 partai nasional
yang memperebutkan 560 kursi di 77 Daerah Pemilihan seluruh Indonesia.
Di setiap Dapil, tersedia 3-10 kursi yang diperebutkan.
Jadi, total caleg yang gagal bermukim di Senayan sebanyak 6.048 orang.
B. KURSI YANG DIPEREBUTKAN UNTUK DPR PUSAT PADA PEMILU 2014
Proses demokrasi di Indonesia selalu berlangsung semarak terutama
saat Pemilihan Umum. Salahsatu buktinya terlihat dari banyaknya jumlah
caleg dan kursi yang diperebutkan dalam Pemilu 2014.
Ada tiga tingkatan pemilu legislatif yaitu DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten Kota dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara rinci, jumlah
daerah pemilih di tingkat pusat DPR RI ada sebanyak 77 dapil dengan 560
kursi. DPD terdiri dari 33 dapil dengan jumlah kursi yang diperebutkan
132 kursi. DPRD provinsi ada 259 dapil dengan 2.112 kursi. Lalu
terbanyak adalah DPRD Kabupaten Kota 2.102 dapil dengan 16.895 kursi.
“Maka yang diperebutkan (secara nasional) adalah 19.699 unit kursi di 2.471 daerah pemilihan,"
C. ALAMAT DPP PUSAT , DPD, DAN DPC PARPOL PESERTA PEMILU 2014
1. DPC PARTAI NASIONAL DEMOKRAT (Partai NasDem) Bulakerejo Rt 3 Rw 7 Sukoharjo
2. DPC PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB ) Jl. Jendral Sudirman No. 417B
3. DPD PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) Jl. Jendral Sudirman No. 421
4. DPC PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN (PDIP) Jl.Tentara pelajar, Jombor, Bendosari
5. DPD PARTAI GOLKAR Jl.Mayor Sunaryo No. 22 Sukoharjo
6. DPC PARTAI GERINDRA Jl.Gatot Subroto Nomor 8 Madyorejo Rt 01/VII Jetis
7. DPD PARTAI DEMOKRAT Jl. Pemuda No. 70 Sukoharjo
8. DPD PARTAI AMANAT NASIONAL (PAN) Jl. Jend. Sudirman No. 298
9. DPC PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP) Dompilan Rt 01 Rw 09,Sidorejo Jl.Jend Sudirman 419
10. DPC PARTAI HANURA Jl. Tentara Pelajar No. 2 JomborIndah, Bendosari
11. DPC PARTAI BULAN BINTANG (PBB) Jl. Gatot Subroto No. 15
12. DPK PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA (PKPI) Jl. Raya Solo-Sukoharjo Km 7.8 Telukan, Grogol
D. JUMLAH ANGGOTA DPR DAN DPD TERPILIH PADA PEMILU 2014
Persoalannya, menghadapi Pemilu 2014, bagaimana kita harus
menyikapi hal tadi? Sebab, hal itu seharusnya bisa digunakan sebagai
starting point dan media bagi perempuan untuk memberdayakan dirinya
dalam bidang politik. Ataukah para perempuan perlu memikirkan media dan
alternatif lain untuk memberdayakan dirinya dalam bidang politik, selain
melalui kuota 30%?
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang
umumnya, perempuan memang dipandang terlambat terlibat di dunia politik.
Stigma-stigma bahwa perempuan senantiasa dalam posisi domestik,
dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat
berkiprah di dunia politik. Padahal potensi modal politik kaum perempuan
(termasuk di Indonesia) untuk melibatkan diri dalam dunia politik
adalah besar.
Menurut Biro Pusat Statistik, jumlah perempuan Indonesia
adalah sebanyak 101.628.816 orang (51%) dari jumlah penduduk Indonesia.
Ironisnya, jumlah perempuan yang ada pada posisi-posisi strategis untuk
pengambilan keputusan amat minim. Pada setiap pemilu, jumlah perempuan
yang terpilih berkisar antara 8% hingga 11%. Pendaftaran pencalonan dari
masing-masing kekuatan politik bisa mencerminkan lebih dari 11% caleg
perempuan, namun kenyataannya yang terpilih tidak lebih dari itu.
Dengan kondisi itu bisa dimengerti bila keputusan-keputusan
yang dibuat sangat maskulin dan kurang berperspektif gender. Perempuan
tidak banyak terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Perempuan lebih
banyak sebagai “penikmat” keputusan. Padahal keputusan yang dihasilkan
sering sangat bias gender, tidak memperhatikan kepentingan kaum
perempuan, tidak membuat perempuan kian berkembang. Sebaliknya, lebih
banyak membuat perempuan menenggelamkan diri pada sektor-sektor yang
amat tidak strategis. Dalam jangka panjang, ini mengakibatkan posisi
perempuan selalu berada pada posisi marjinal.
Salah satu argumen kaum feminis tentang minimnya jumlah
perempuan yang terlibat dalam urusan politik ialah karena kendala
struktural. Di antaranya berupa kebijakan dan regulasi pemerintah yang
tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk aktif di ranah publik.
Kendala struktural itu kemudian coba diatasi dengan menetapkan kuota
perempuan dalam UU tentang Pemilu. Salah satu pasalnya menyebutkan,
“Setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan DPRD
dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
Aturan ini bisa dipahami sebagai upaya untuk menghapus kendala
struktural yang mungkin membelenggu perempuan.
Dengan amanat pasal itu, ada semacam kewajiban bagi setiap
parpol untuk menempatkan perempuan sebagai caleg. Setiap ada 3 nama yang
diusulkan sebagai caleg, satu di antaranya harus perempuan. Dengan cara
ini, diharapkan minimal sepertiga jumlah anggota DPR/DPRD yang terpilih
adalah perempuan. Dengan begitu kebijakan-kebijakan yang dihasilkan,
baik di pusat maupun daerah, akan lebih berpihak kepada kaum perempuan
yang karena sifat dan kodratnya memang membutuhan perlakuan khusus.
Sayangnya, belajar dari sejarah, dalam proses pencalonan
anggota legislatif untuk pemilu, banyak parpol yang tidak mampu memenuhi
jumlah minimal caleg perempuan. Sebagai pelajaran ke depan, tentu kita
harus melacaknya dengan cermat, mengapa itu terjadi? Faktor struktural
jelas tidak bisa dijadikan “kambing hitam”, sebab sudah ada amanat salah
satu pasal dalam UU tentang Pemilu. Yang bisa dijadikan “kambing hitam”
hanyalah abu-abunya ketentuan pasal tadi, dalam arti tidak bersifat
imperatif dan tidak disertai sanksi bagi parpol yang tidak menaatinya.
Faktor lain yang kemudian dijadikan argumen ialah faktor
kultural. Selama ini, dunia politik dikonstruksikan secara keliru, yaitu
sebagai arena adu kekuatan, tipu muslihat, perebutan kekuasaan,
penyalahgunaan kekuasaan, dan segala bentuk citra negatif lainnya. Dunia
demikian memang menjadi asing bagi perempuan yang cenderung
mengutamakan kehalusan, ketulusan, kedamaian dan ketentraman hidup.
Banyak perempuan berpandangan, panggung politik bukanlah wilayah yang
pantas dimasuki dan sebisa mungkin harus dihindari. Politik acap
dianggap sebagai arena bermain bagi laki-laki untuk menempa eksistensi
dan jati diri. Memang bagi kebanyakan orang (laki-laki), politik sebagai
profesi adalah sesuatu yang amat menggairahkan. Tapi tidak demikian
bagi para perempuan.
Faktor lainnya yang dapat digunakan untuk menjelaskan
minimnya caleg perempuan ialah faktor intern parpol. Parpol belum siap
mengajukan caleg perempuan yang kualified dan potensial. Sebab selama
ini ada tradisi dalam struktur organisasi apapun untuk menempatkan
perempuan cuma dalam bidang-bidang yang mengurusi bidang keperempuanan,
seperti bendahara, bidang/urusan wanita, urusan sosial dan semacamnya,
bukan pada posisi-posisi strategis.
Kondisi ini yang kemudian mendorong suatu parpol untuk
mengajukan caleg perempuan “impor” atau “siluman”, yang bukan kader
parpol bersangkutan dan sama sekali belum dikenal kader-kader parpol.
Sementara mereka yang sudah lama mengabdi dan menjadi kader parpol, sama
sekali tidak dilirik bahkan diabaikan. Inilah yang kemudian menuai
protes agar caleg perempuan itu dibatalkan, seperti kasus yang pernah
terjadi di DPD PDI-P DI Yogyakarta.
Itu ditambah faktor jual beli nomor urut daftar pencalonan.
Bagi caleg perempuan potensial, faktor ini bisa jadi turut menentukan
proses pencalonannya. Jika dia tidak mampu menyediakan sejumlah dana
untuk posisi nomor pencalonannya, lebih-lebih untuk “nomor peci”, sudah
bisa dipastikan tidak akan diajukan sebagai caleg.
Mencermati realita politik di atas, para aktivis perempuan
sebaiknya memandang kuota 30% perempuan dalam parlemen sebagai suatu
proses pendidikan politik. Dan ke depan, khususnya untuk menghadapi
Pemilu 2014, rencana dan program perlu lebih diarahkan untuk melakukan
pendidikan politik, baik kepada parpol, caleg maupun pemilih, terutama
pemilih perempuan.
Pendidikan politik ini tidak cuma bertalian dengan hal-hal
teknis dalam proses pemilu seperti memberikan informasi kepada pemilih,
siapa yang berhak memilih, mekanisme pemilihan, tempat, tanggal dan
waktu pemilihan, dan syarat-syarat registrasi. Namun juga bertalian
dengan pengetahuan dasar atau filsafat di balik hakikat pemilu, di
antaranya apa itu pemilu dan mengapa pemilu diadakan. Harus pula
dijelaskan, pemilu memiliki implikasi terhadap kualitas penyelenggaraan
negara dan terciptanya good governance di masa depan. Yang diharapkan
dari itu ialah munculnya kesadaran dan motivasi pemilih untuk
berpartisipasi penuh dalam proses pemilu.
Dalam pendidikan politik itu juga perlu dijelaskan bagaimana
menentukan pilihan parpol dan wakil legislatif. Dalam proses ini perlu
ada gambaran jelas tentang profil parpol dan anggota legislatif yang
diajukan parpol. Harus ada track record orang yang akan dipilih,
terutama yang bertalian dengan persoalan korupsi dan keberpihakan kepada
rakyat. Di sini perlu ditekankan agar dalam memilih dapat menggunakan
pertimbangan rasional. Harus ada pertimbangan matang, mengapa memilih
parpol ini atau itu, mengapa memilih si A atau B sebagai caleg, termasuk
dalam memilih caleg perempuan. Jangan karena alasan agar kuota 30%
perempuan terpenuhi, kita asal memilih caleg perempuan.
Agar pemilih lebih kritis, dalam proses pendidikan politik itu
ada 3 tahap yang mesti dilakukan: (1) Tahap kodifikasi. Yaitu tahap
menghadirkan fakta sosial ke dalam arena pendidikan politik, misalnya
mempertanyakan apa fakta sosial atau persoalan krusial yang sedang
dihadapi bangsa Indonesia saat ini. (2) Tahap dekodifikasi. Yaitu tahap
analisis atas persoalan atau fakta sosial, yakni mempertanyakan mengapa
persoalan itu muncul. (3) Tahap praksis atau pemecahan masalah. Yaitu
mempertanyakan bagaimana persoalan itu dapat dipecahkan dan bagaimana
fungsi pemilu dalam upaya pemecahan masalah itu.
Sumber :
http://okawaokawa16.blogspot.sg/
http://www.wikipedia.org/
0 komentar:
Posting Komentar